Vernissage

Apa yang lucu dari Seni?

Apakah Seni ditertawakan sampai mati oleh kaum Dadais? Atau mungkin sardonisida ini terjadi lebih awal, dengan penampilan pertama Ubu Roi? Atau dengan tawa sarkastik Baudelaire dalam opera, yang begitu mengganggu teman-teman borjuisnya yang baik?

Yang lucu dari Seni (meskipun lebih ke lucu-aneh daripada lucu-hahaha) adalah pemandangan mayat yang menolak untuk berbaring, jambore zombie ini, pertunjukan boneka charnel dengan semua tali yang melekat pada Kapital (buncit ala plutokrat Diego Rivera), simulakrum yang sekarat ini menyentak dengan hingar-bingar, berpura-pura menjadi satu-satunya makhluk paling hidup di alam semesta.

Dalam menghadapi ironi seperti ini, kegandaan yang begitu ekstrem hingga menjadi jurang yang tak bisa dilewati, kekuatan penyembuh tawa-dalam-seni apapun hanya bisa dicurigai, properti ilusif dari elit yang ditunjuk-sendiri atau pseudo-avant-garde . Untuk memperoleh avant-garde sejati, Seni harus pergi ke suatu tempat, & ini sudah lama tidak terjadi lagi. Kita menyinggung Rivera; pasti tidak ada lagi seniman politik yang benar-benar lucu telah melukis di abad kita—tapi buat apa? Trotskisme! Jalan buntu paling mematikan dari politik abad kedua puluh! Tidak ada kekuatan penyembuhan di sini—hanya suara hampa ejekan tanpa daya, bergema di atas jurang.

Untuk menyembuhkan, petama, menghancurkan—& seni politik yang jatuh untuk menghancurkan target tawanya berakhir dengan memperkuat kekuatan yang ingin diserangnya. “Apa yang tidak membunuhku membuatku lebih kuat,” ejek sosok babi di topinya yang mengilap (mengejek Nietzsche, tentu saja, Nietzsche yang malang, yang mencoba tertawa sepanjang abad kesembilan belas sampai mati, tetapi berakhir dengan menjadi mayat hidup; yang mana saudara perempuannya mengikatkan tali ke anggota tubuhnya untuk membuatnya menari kepada fasis).

Tidak ada yang sangat misterius atau metafisik tentang prosesnya. Keadaan, kemiskinan, pernah memaksa Rivera untuk menerima komisi agar datang ke AS & melukis mural—untuk Rockfeller!—sang babi Wall Street yang sangat tipikal! Rivera menjadikan karyanya sebagai bagian dari agitprop untuk Komite—& kemudian Rockfeller menghapusnya. Seolah-olah ini tidak cukup lucu, lelucon sebenarnya adalah bahwa Rockfeller bisa menikmati kemenangan lebih manis dengan tidak menghancurkan Seni, parasit ompong dari dekorator interior, lelucon itu.

Impian Romantisisme: bahwa dunia-realitas nilai-nilai borjuis entah bagaimana dapat dibujuk untuk mengkonsumsi, mengambil ke dalam dirinya sendiri, sebuah seni yang pada awalnya tampak seperti semua seni lainnya (buku untuk dibaca, lukisan untuk digantung di dinding, dll.), tetapi yang secara diam-diam akan menginfeksi realitas itu dengan sesuatu yang lain, yang akan mengubah cara ia melihat dirinya sendiri, menjungkirbalikkannya, menggantinya dengan nilai-nilai seni yang revolusioner.

Ini juga merupakan mimpi yang diimpikan oleh Surealisme. Bahkan Dada, meskipun terlihat sinisisme, masih berani berharap. Dari Romantisisme hingga Situasionisme, dari Blake hingga 1968, mimpi kesuksesan setiap hari kemarin menjadi dekorasi ruang tamu setiap hari esok—dibeli, dikunyah, direproduksi, dijual, dikirim ke museum, perpustakaan, universitas, & makam lainnya, terlupakan, hilang, dibangkitkan, berubah menjadi nostalgia-gila, direproduksi, dijual, dst, dst, sampai memualkan.

Untuk memahami seberapa menyeluruh Cruikshank atau Daumier atau Grandville atau Rivera atau Tzara atau Duchamp menghancurkan pandangan dunia borjuis pada masanya, seseorang harus mengubur diri dalam badai referensi sejarah & berhalusinasi—karena sebenarnya penghancuran-demi-tawa adalah kesuksesan teoretis tetapi kegagalan nyata—bobot mati dari ilusi gagal mengalah bahkan satu inci pun dalam badai tawa, serangan tawa. Bukan masyarakat borjuis yang runtuh, melainkan seni.

Dilihat dari trik yang telah dimainkan pada kita, tampak bagi kita seolah-olah seniman kontemporer dihadapkan pada dua pilihan (karena bunuh diri bukanlah solusi): satu, terus, terus melancarkan serangan demi serangan, gerakan demi gerakan, dengan harapan bahwa suatu hari (segera) “sesuatu” itu akan menjadi sangat lemah, begitu kosong, sehingga akan menguap & tiba-tiba meninggalkan kita sendirian di lapangan; atau, dua, untuk memulai sekarang juga, hiduplah seolah-olah pertempuran telah dimenangkan, seolah-olah hari ini sang seniman bukan lagi orang yang istimewa, tetapi setiap orang adalah seniman yang istimewa. (Inilah yang oleh kaum Situasionis disebut “supresi & realisasi seni”).

Kedua opsi ini sangatlah “mustahil”, sehingga bertindak atas salah satu dari keduanya hanya akan menjadi lelucon. Kita tidak perlu membuat karya seni yang “lucu” karena membuat karya seni saja sudah cukup lucu untuk membuat kita gusar. Tapi setidaknya, itu akan menjadi lelucon kita. Siapa yang dapat mengatakan dengan pasti bahwa, kita akan gagal? (“Saya suka tidak mengetahui masa depan”—Nietzsche). Namun, untuk mulai memainkan permainan ini, kita mungkin harus menetapkan aturan tertentu untuk diri kita sendiri:

  1. Tidak ada masalah. Tidak ada hal seperti seksisme, fasisme, spesiesisme, lookisme, atau “isu waralaba” lainnya yang dapat dipisahkan dari kompleks sosial & diperlakukan dengan “wacana” sebagai “masalah”. Yang eksis hanyalah totalitas yang memasukkan semua “masalah” ilusif ini ke dalam kepalsuan total dari wacananya, sehingga menjadikan semua opini, pro & kontra, menjadi sekadar komoditas pemikiran untuk dibeli & dijual. Dan totalitas ini sendiri adalah ilusi, mimpi buruk jahat yang darinya kita mencoba (melalui seni, atau humor, atau dengan cara lain) untuk bangkit.
  2. Sebisa mungkin, apapun yang kita lakukan harus dilakukan di luar struktur psikis/ekonomi yang dibentuk oleh totalitas sebagai ruang yang diperbolehkan untuk permainan seni. Anda bertanya, bagaimana kita mencari nafkah tanpa galeri, agen, museum, penerbitan komersial, NEA, & lembaga kesejahteraan seni lainnya? Oh, baiklah, seseorang tidak perlu meminta yang tidak mungkin. Tetapi, seseorang memang harus menuntut yang “tidak mungkin”—atau mengapa seseorang menjadi seniman?! Tidaklah cukup untuk menduduki kursi khusus burung-kucing suci yang disebut Seni untuk mengejek kebodohan & ketidakadilan dunia “persegi”. Seni adalah bagian dari masalah. Dunia Seni memiliki kepalanya di atas pantatnya, & menjadi perlu untuk melepaskan diri—atau hidup di lanskap yang penuh dengan kotoran.
  3. Tentu saja seseorang harus terus “mencari penghidupan” entah bagaimana—tetapi yang terpenting adalah mencari hidup. Apapun yang kita lakukan, pilihan manapun yang kita pilih (mungkin semuanya), atau betapapun buruknya kita berkompromi, kita harus berdoa untuk tidak pernah salah mengira seni sebagai kehidupan: Seni itu singkat, Hidup itu panjang. Kita harus berusaha dan bersiap untuk hanyut, berpindah-pindah, menyelinap keluar dari semua jaring, tidak pernah menetap, hidup melalui banyak seni, membuat hidup kita lebih baik daripada seni kita, menjadikan seni sebagai kebanggaan kita daripada alasan kita.
  4. Tawa penyembuhan (berlawanan dengan tawa beracun & korosif) hanya dapat muncul dari seni yang serius—serius—tetapi tidak sadar. Morbiditas tanpa ujung, nihilisme sinis, kesembronoan pasca-modern yang trendi, merengek/mengejek/merintih (kultus liberal “korban”), kelelahan, hiperkonformitas ironis Baudrillardian—tidak satupun dari pilihan ini yang cukup serius, & pada saat yang sama, tidak ada yang cukup memabukkan untuk sesuai dengan tujuan kita, apalagi mengundang tawa kita.