The Antichrist versus The Anarchist

Mikhail Bakunin pernah menyatakan, “dorongan untuk menghancurkan juga merupakan dorongan kreatif.” Friedrich Nietzsche, dalam refleksinya, mengakui kebenaran pandangan Bakunin, bahkan melangkah lebih jauh dengan merumuskan gagasan serupa secara lebih ekspresif: “Keinginan untuk menghancurkan, mengubah, dan menjadi dapat menjadi ekspresi dari energi yang meluap yang mengandung masa depan.” Dalam pengakuannya, kehancuran memang dapat bersifat kreatif. Namun, Nietzsche menambahkan, dorongan tersebut juga bisa muncul dari kebencian mereka yang tidak memiliki aturan, hak, atau kapasitas, yang merasa perlu untuk menghancurkan karena keberadaan realitas itu sendiri memprovokasi dan menimbulkan amarah mereka. Dalam pandangan Nietzsche, kaum anarkis mencerminkan jiwa-jiwa yang berada dalam cengkeraman kemarahan nihilistik terhadap kenyataan.

Nietzsche, saat merujuk pada “kaum anarkis kita,” tidak membayangkan anarkis yang terobsesi dengan kebebasan, melainkan yang termotivasi oleh rasa ketidakadilan. Bagi Nietzsche, anarkis ini mewakili bentuk paling ekstrem dari jenis revolusioner tertentu, yang secara visual mengekspresikan pemberontakan massa yang tertindas, mereka yang “kurang beruntung”. Anarkis tersebut, dalam pandangan Nietzsche, adalah perwujudan sempurna dari reaktivitas, sebuah ekspresi murni dari pemberontakan yang reaktif. Nietzsche menganggap anarkisme semacam ini, pada intinya, sebagai reaksi terhadap kondisi yang ada, bukan sebagai tindakan yang inovatif atau visioner. Tuduhan Nietzsche terhadap anarkisme ini adalah bahwa pada tingkat terdalam, ia bersifat reaktif, bukan progresif.

Meskipun Nietzsche melancarkan kritik pedas terhadap kaum “kurang beruntung” dan para pejuang yang merasa diri mereka paling benar, kritik ini bukanlah pembelaan atas “hak istimewa”. Nietzsche juga tidak ragu untuk menyerang pretensi mereka yang memiliki kekuasaan. Ia menyadari bahwa para pemilik hak istimewa lah yang bertanggung jawab atas pembentukan masyarakat massa dan moralitas kawanan yang ia benci. Nietzsche tidak berpihak pada tatanan yang sudah mapan, maupun pada mereka yang berusaha menggulingkannya. Ia melihat konservatisme dan anarkisme sebagai dua sisi dari koin yang sama; konservatisme berusaha mempertahankan absurditas lama, sementara anarkisme hanya berusaha menggantinya dengan yang baru tanpa mengubah sifat dasar dari kekuasaan yang korup.

Kritik Nietzsche terhadap anarkisme bersifat diagnostik, mengidentifikasi akar sensibilitas yang tertanam dalam reaktivitas, kebencian, dan negativitas. Bagi Nietzsche, kaum anarkis yang ia kritik terobsesi dengan ketidakadilan yang mereka lihat dalam dunia, tetapi tidak berdaya untuk menghadapinya. Mereka adalah bayangan cermin dari jiwa-jiwa budak yang tertarik dan terpesona oleh tontonan kekuasaan, kekayaan, dan hak istimewa. Namun, dalam kasus para anarkis ini, jiwa mereka diracuni oleh kemarahan yang tidak berdaya dan reaktif, yang menghancurkan semua potensi kreatif dalam diri mereka.

Nietzsche, dalam karyanya yang bertajuk Antikristus, menyerang anarkisme karena menurutnya, anarkisme adalah bentuk lain dari kekristenan. Yang ia maksud dengan “kekristenan” bukanlah ajaran Yesus, melainkan kekristenan institusional yang ia anggap sebagai bentuk pesimisme dan nihilisme yang reaktif terhadap dunia. Tuduhan Nietzsche terhadap kekristenan dan anarkisme serupa dengan pembedahan Hegel terhadap “Jiwa yang Indah”. Namun, Nietzsche lebih tajam dalam kritiknya terhadap idealisme semacam itu, yang ia sebut sebagai “Jiwa yang Jelek”, karena terputus dari kebenaran pengalaman dan kebajikan dunia nyata.

Bagi Nietzsche, Übermensch, sosok manusia yang lebih tinggi, adalah lautan luas di mana kejahatan besar dapat diencerkan dan dilarutkan. Sebaliknya, puritan moral adalah genangan air kecil yang tergenang, di mana kebaikan yang paling agung membusuk. Nietzsche menyatakan bahwa baik orang Kristen maupun anarkis adalah kaum dekaden, tidak mampu menciptakan apapun selain kehancuran dan kebencian terhadap segala sesuatu yang berdiri teguh dan menjanjikan masa depan bagi kehidupan. Kecacatan tragis dalam kedua struktur karakter ini adalah identifikasi diri mereka dengan cita-cita yang tak beralasan dan tidak memiliki dasar yang kuat.

Nietzsche melihat anarkis sebagai tipe revolusioner yang lahir dari reaksi terhadap industrialisasi, kapitalisme, dan negara-bangsa yang terpusat pada abad ke-19. Namun, ia juga menemukan ciri-ciri ini pada berbagai aliran anarkisme Barat yang muncul pada tahun 1960-an, yang mendefinisikan diri mereka dengan apa yang mereka tolak, mengadopsi posisi oposisi terhadap segala bentuk dominasi tanpa menawarkan alternatif yang konstruktif. Anarkisme semacam ini, menurut Nietzsche, adalah protes permanen, sebuah bentuk puritanisme sektarian yang tidak menghasilkan apa-apa selain kebisingan latar belakang yang akhirnya kehilangan makna.

Dalam kritiknya, Nietzsche mempertanyakan mengapa bagi kaum anarkis klasik, revolusi bencana menjadi kebutuhan mutlak, dan bagi kaum anarkis kontemporer, dogmatisme sektarian dan politik protes permanen menjadi kebutuhan psikologis. Nietzsche menganggap anarkisme semacam ini sebagai Platonisme Kiri, di mana idealisme utopis menggantikan realitas konkret, dan harapan diletakkan pada Utopia yang tidak memiliki hubungan dengan dunia nyata.

Nietzsche menempatkan anarkisme dalam kategori yang sama dengan gejala-gejala negatif lainnya seperti “selibat”, “kemandulan”, dan “histerisisme”. Bagi Nietzsche, anarkisme hanya melihat yang negatif dari apa yang ada, merindukan kehancuran revolusioner, dan menemukan harapan dalam Utopia pascarevolusi yang tidak memiliki dasar dalam realitas. Anarkisme semacam ini adalah manifestasi dari kebencian yang berkembang subur di antara para anarkis dan anti-Semit, yang menurut Nietzsche, berusaha menyucikan balas dendam atas nama keadilan, dan merehabilitasi seluruh pengaruh reaktif secara umum.

Pesan Nietzsche terhadap kaum anarkis yang dogmatis dan semua orang yang menggunakan kebenaran mereka seperti senjata adalah untuk menghindari mereka, karena mereka adalah jenis orang sakit yang memandang kehidupan ini dengan masam dan tidak tahu bagaimana menikmati kehidupan. Pada akhirnya, Nietzsche menyatakan bahwa tanpa kemampuan untuk menikmati hidup dan mencintai manusia yang sebenarnya, anarkisme kehilangan makna dan relevansi.